Jumat, November 04, 2011

Islamic Historiography: Sebuah Model Otentisitas Sains Islam*

PERDEBATAN seputar Islamisasi sains yang pernah menggema kurang lebih satu dasa warsa silam, masih menyisakan ruang perdebatan yang cukup luas. Perselisihan di antara para penggagas dan penentang Islamisasi sains ketika dihadapkan pada pertanyaan pada wilayah mana Islamisasi sains itu mesti diberlakukan, menjadikan debat ini menjadi persoalan yang tidak mudah diselesaikan. Maka bisa dimaklumi, jika sampai dengan hari ini, Islamisasi sains ibarat “proyek macet” yang masih menunggu kedermawanan dan kekuatan para penggagasnya untuk melanjutkannya kembali.

Di luar persoalan ini, terdapat satu celah untuk mengevaluasi gagasan Islamisasi sains, yaitu dengan mengkaji otentisitas sains yang pernah lahir dari rahim Islam. Pengkajian seperti ini menjadi penting, sehingga gagasan Islamisasi sains tidak terperangkap dalam “debat kusir” yang tak berujung. Dengan menjadikan historiografi Islam sebagai model, artikel ini bermaksud mengkaji bagaimana otentisitas sains dalam Islam itu ada dan bagaimana ia berkembang dan mengalami evolusi konseptual dan metodologis, bahkan pada gilirannya menjadi sebuah disiplin yang mapan.

Selama lebih dari empat belas abad keberadaan Islam, agama ini telah menghasilkan banyak ilmuwan sejarah. Untuk menyebut sejumlah nama, al-Thabari (923), al-Mas’udi (955), al-Bakri, Ibn Khalikan (1282) dan Ibn Khaldun (1406) bisa dihadirkan sebagai contoh. Dari nama-nama ini, dua di antaranya, al-Mas’udi dan Ibn Khaldun menduduki posisi yang sangat penting dalam diskursus historiografi Islam. Al-Mas’udi, menurut Tarif Khalidi (1975: 44), adalah ahli sejarah Muslim pertama yang melakukan refleksi pada sejarah dan menerapkan sejumlah prinsip metode ilmiah dan penalaran filosofis pada sejarah.

Di sisi lain, Ibn Khaldun, juga dikenal luas dalam diskursus ilmu sosial berkaitan dengan karya agungnya dalam historiografi Islam, khususnya, dan, ilmu sosial, secara umum. Karya Ibn Khaldun tentang historiografi memberikan pengaruh yang sangat besar pada perkembangan ilmu sosial, baik di dunia Muslim sendiri maupun di Eropa. Kekhasan dan orisinalitas Ibn Khaldun dalam menghasilkan karya-karya semacam ini bisa ditampilkan sebagai warisan orisinal sains Islam. Sebagaimana Ibn Sina, Ibn Rusyd dan al-Ghazali, yang memiliki pengaruh sangat luar biasa di Eropa, Ibn Khaldun juga memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan dunia keilmuan di benua ini, tetapi, sebagaimana kesaksian Charles Issawi (1950: 1) Ibn Khaldun jauh melampaui ilmuwan-ilmuwan Islam terdahulu ini dalam pemahaman persoalan sosial.

Sejalan dengan keagungan ini, diyakini juga bahwa Islam memiliki orisinalitasnya dalam membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan, termasuk historiografi. Eksistensi ilmuwan sejarah Muslim ini dengan sendirinya menunjukkan fakta bahwa Islam juga mampu menghasilkan konsep historiografi yang genuine. Meskipun demikian, dalam konteks sains Islam secara umum, di sana sini masih terdapat skeptisisme bahwa Islam tidak pernah menghasilkan konsep ilmu yang orisinal, atau setidaknya ilmu yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Perdebatan seputar orisinalitas dan kekhasan ilmu-ilmu Islam (ilmu sosial dan humaniora, ilmu alam maupun filsafat) memang masih menjadi perdebatan hangat di dunia akademis. Banyak sarjana yang meyakini bahwa Islam memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi perkembangan sains modern. Sebaliknya, tidak sedikit juga yang menyatakan bahwa Islam tidak memiliki orisinalitas dalam menghasilkan ilmu pengetahuan.

Dengan mengambil filsafat Islam sebagai contoh, tidak sedikit sarjana Barat yang menganggap bahwa apa yang disebut sebagai “filsafat Islam” tidak benar-benar ada. Filsafat Islam, menurut pandangan ini, tidaklah murni didasarkan pada ajaran dan doktrin Islam. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah, klaim pandangan ini, penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Karena itu, filsafat Islam dianggap tidak benar-benar Islami, tetapi ia adalah “versi Arab” dari filsafat Yunani. Dalam pengamatan Majid Fakhry (1994), filsafat Islam dibangun di atas doktrin Islam, meskipun ia tidak dapat menghindari pengaruh filsafat Yunani. Meskipun demikian, lanjut Fakhry, filsafat Islam memiliki kemandirian dari filsafat Yunani, paling tidak dalam lima hal: keesaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, awal alam semesta: apakah diciptakan atau diemansikan, kefanaan jiwa di hari akhir, hakikat keadilan Tuhan, dan hakikat hari akhirat.

Baik filsafat Islam maupun historiografi Islam sama-sama mengalami persoalan kecurigaan akan orisinalitas dari sarjana Barat. Tetapi, dalam konteks penerimaan dalam diskursus ilmu-ilmu Islam, filsafat Islam dan historiografi Islam memiliki jalan cerita yang berbeda. Majid Fakhry (1994) menunjukkan perbedaan sikap dari beragam kalangan dalam Islam ketika filsafat Yunani mulai diperkenalkan. Kaum tradisionalis, yang direpresentasikan oleh Imam Malik dan Imam Ibn Hanbal, memandang metode dialektis (dialectical method of discourse) sebagai ancaman bagi ortodoksi Islam dan pada saat yang sama mereka kemudian mempertahankan pendapat bahwa metode gramatikal atau linguistik adalah satu-satunya metode yang bisa diterima untuk menafsirkan al-Qur’an. Di sisi lain, Mu’tazilah menyerukan penerapan interpretasi alegoris dan dialektis atas al-Qur’an, dan berbeda dengan dua kelompok awal ini, para filosof justru berusaha merekonsiliasikan pandangan dunia al-Qur’an dengan filsafat dan logika Yunani dan Hellenis.

Tidak seperti filsafat, historiografi Islam secara umum diterima dalam diskursus ilmu Islam, meskipun terdapat sejumlah perbedaan spesifik dari masing-masing ilmuwan sejarah. Bisa diasumsikan bahwa penerimaan yang relatif bulat terhadap historiografi Islam ini didasarkan pada pemikiran bahwa menjaga kesinambungan sejarah Islam sangatlah penting. Kesinambungan sejarah hanya bisa dicapai ketika sumber-sumber tekstual tersedia. Tanpa ketersediaan sumber-sumber tertulis, studi sejarah hanya akan menciptakan kontroversi yang lebih banyak, karena sumber lisan sebagai bentuk sumber sejarah yang lebih tua, tidak bisa diuji secara valid dan akademis. Meskipun begitu, harus dinyatakan segera bahwa penggunaan materi tekstual sebagai sumber historiografi Islam juga tidak berarti sepenuhnya bebas dari kontroversi. Hanya saja, kontroversi yang bersumber dari tradisi dan sumber tertulis akan relatif lebih mudah diatasi ketimbang kontroversi yang bersumber dari tradisi lisan.

Menariknya, historiografi Islam, dalam konteks tertentu, memanfaatkan metodologi filsafat dalam kajiannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ibn Khaldun dalam berbagai teorinya. Meskipun penggunaan metode filosofis dalam studi historiografi Islam itu belum terjadi pada masa-masa awal perkembangan historiografi Islam.

***

KAJIAN historiografi Islam adalah kajian tentang penulisan historis dan juga metodologi historis dalam Islam. Kajian tentang “penulisan” harus ditekankan di sini, karena pada masa perkembangan awal komunitas Islam dan penanaman doktrin dan ajaran Islam, tradisi lisan dikenal sangat luas dan sampai batas tertentu memainkan peran penting. Meminjam ungkapan A. A. Duri (1983: 137), “budaya Arab adalah budaya yang pada dasarnya adalah lisan. Budaya ini sangat bergantung kepada puisi sebagai metode dokumentasinya dan menjadikan ayat-ayat sebagai sarana terbaik untuk memelihara warisannya.” Karena itu, menjadi tidak mengherankan ketika tradisi lisan memiliki peran yang sangat menonjol di kalangan masyarakat Arab pra-Islam.

Lebih dari sekadar kajian tentang penulisan dan metode historis, sebagaimana yang ditegaskan oleh Duri, historiografi Islam juga mengkaji evolusi penulisan historis beserta dengan metode dan gagasan yang menyertai evolusi ini (Duri, 1983: 6). Transisi dari tradisi lisan ke tradisi tulisan di kalangan masyarakat Arab bermula ketika orang mulai merasakan pentingnya melakukan dokumentasi atas perkataan-perkataan dan tindakan-tindakan Nabi dalam satu kajian khusus. Karena alasan ini, historiografi Islam, sebagaimana disiplin lainnya dalam Islam, berhubungan sangat erat dengan disiplin lain. Tradisi atau hadits adalah cabang ilmu yang paling berpengaruh terhadap historiografi Islam, terutama pada masa-masa formatif (Khalidi, 1975: xiii). Dalam kajiannya yang lain, Khalidi juga menghadirkan dua tahap intensitas dalam sejarah hadits ketika ilmu-ilmu Islam lainnya berkembang darinya. Kedua tahapan itu adalah: tahapan pertama adalah masa klasifikasi dan penyuntingan yang berlangsung pada abad ke-3 hingga ke-5 H atau 9-11 M, sementara tahapan kedua adalah periode penyempurnaan kamus biografis Mamluk yang Agung yang memasukkan para perawi hadits dan topik-topik yang berkaitan (Khalidi, 1994: 17). Berdasarkan fakta ini, bisa diyakini bahwa perkembangan historigrafi Islam tidak bisa dipisahkan dari formasi awal ajaran Islam dan masyarakat Muslim (ummah) di Mekkah dan Madinah (Azra, 2003: 19).

Selama masa kehidupan Nabi, semua persoalan keagamaan, sosial, politik dan ekonomi yang muncul dalam masyarakat Madinah akan dirujukkan secara langsung kepada Nabi Muhammad. Persoalan muncul ketika Muhammad wafat. Setelah meninggalnya Muhammad, dalam upaya memecahkan setiap persoalan yang berkembang di kalangan komunitas Muslim, otoritas sahabat sangat diperlukan karena mereka hidup semasa dengan Nabi dan, sampai tingkat tertentu, mengetahui dan menctata apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi. Meskipun demikian, upaya khusus untuk mengumpulkan informasi tentang Nabi, pada gilirannya, berkulminasi pada penciptaan ilmu hadits. Konsekwensinya, hadith memainkan peran signifikan baik sebagai sumber sistem hukum Islam maupun sebagai rantai informasi bagi ilmuwan sejarah Muslim. Karena dua disiplin ilmu ini berasal dari sumber yang sama, menjadi sangat bisa difahami ketika secara umum sejarah sangat sulit dibedakan dari hadits (Khalidi, 1975: xiii). Tumpang tindih hadits dan historiografi Islam pada masa awal ini bisa juga disimpulkan dari tesis Humpreys (1991: 21)yang meyakini bahwa kemampuan mengidentifikasi kutipan pada hadits adalah salah satu syarat penting untuk menjadi sejarawan yang kompenten.

Hadits, dengan demikian, adalah sumber dasar dan utama bagi penulisan sejarah dalam Islam yang didasarkan pada, setidaknya, dua alasan. Pertama, hadits adalah catatan perkataan dan perbuatan Nabi serta peristiwa-peristiwa yang berlangsung pada masa hidup Nabi. Di samping itu, hadits juga berisikan rekaman seputar keputusan-keputusan Nabi tentang persoalan-persoalan khusus yang muncul pada awal kelahiran Islam. Kedua, secara umum, hadits memberikan informasi yang valid seputar topic atau subjek tertentu. Tiga komponen hadits: asal-muasalnya, mode periwayatan dan otentisitasnya akan melindungi ilmuwan sejarah dari penyerapan informasi yang salah dari hadits. Di samping itu, pengujian yang kritis atas tiga aspek hadits ini, menurut Khalidi, juga membawa kita kepada inti salah satu persoalan yang paling rumit yang bisa diatasi oleh para ilmuwan sejarah berkaitan dengan sumber-sumber tekstual (Khalidi, 1994: 17). Walaupun begitu, bagi Ibn Khaldun, jenis informasi ini juga rentan terhadap falsifikasi, mengingat para ilmuwan sejarah ini sepenuhnya bergantung kepada isnad dan bukan matan sebuah hadits. Terlepas dari perselisihan ini, penggunaan hadits dengan segala komponennya sebagai salah satu sumber utama penulisan sejarah Islam dengan sangat menyakinkan menunjukkan bahwa pada masa awal itu telah terdapat mekanisme akuntabilitas dalam melacak sumber-sumber informasi.

Meskipun ketergantungan studi historiografis pada hadits sangatlah tinggi, sebenarnya terdapat juga sedikit perbedaan antar berbagai mazhab sejarah yang muncul pada masa awal ini. Dalam kajiannya, A.A. Duri mengidentifikasi adanya dua mazhab sejarah yang berbeda itu: mazhab sejarah Madinah dan mazhab sejarah Iraq. Mazhan Madinah sering juga dikenal sebagai mazhab maghazi, yang dikembangkan oleh ‘Urwa ibn Zubayr dan muridnya al-Zuhri (Duri, 1983: 78). Mazhab ini merepresentasikan studi sejarah dari perspektif ilmuwan hadits (muhadditsun), sementara mazhab Iraq merepresentasikan kajian sejarah dari perspektif suku, yang sampai batas tertentu, merupakan kelanjutan dari aktivitas suku-suku Arab di masa lalu. Studi sejarahd ari perspektif kesukuan ini muncul sebagai konsekwensi atas lahirnya kesadaran akan aktivitas-aktivitas kesukuan (ibid, h. 137).

Berkaitan dengan fakta bahwa bentuk-bentuk awal historiografi Islam ini utamanya bergantung pada mata rantai periwayatan hadits, Azyumardi Azra mengidentifikasi bentuk-bentuk awal sejarah Islam menjadi al-maghazi, sirah, dan asma’ al-rijal. Al-maghazi yang secara literal bermakna ekspedisi militer, adalah model historiografi Islam yang paling awal dan awalnya didefinisikan sebagai sejarah peperangan atau agresi militer yang dilakukan oleh Muhammad. Belakangan, makna kata ini diperluas menjadi seluruh missi kenabian Muhammad. Jenis historiografi ini menggunakan pengumpulan hadits sebagai metodologi utamanya. Para sahabat menghimpun hadita yang berserakan pada masa mereka dan kumpulan ini berfungsi sebagai data penting bagi para thabiun (Azra, 2003: 29-30). Karena itu, sekali lagi, studi maghazi juga terjadi pada saat yang bersamaan dengan studi hadits.

Berkaitan dengan sirah sebagai bentuk historigrafi Islam awal kedua yang diajukan oleh Azra, Duri sebagaimana dikutip Azra, menganggap Muhammad Ibn Muslim al-Shihab al-Zuhri sebagai orang pertama yang berhak dianggap sebagai real historian pada periode awal ini (duri, 1983: 99). Al-Zuhri tidak secara eksklusif membatasi dirinya pada penyempurnaan maghazi Urwah ibn Zubayr, tetapi juga memperluas aktivitasnya pada wilayah yang lebih luas dalam bentuk penghimpunan riwayah dan hadits yang tersebar di Madinah. Dia menulis segala sesuatu yang dia temukan untuk membantunya memperkuat hafalannya. Dialah orang pertama yang menggunakan istilah sirah, merekonstruksi sirah Nabi dengan struktur yang lebih standar, dan menggariskan kerangka yang lebih memadai. Meskipun demikian, dia lebih suka memilih maghazi –dan bukan sirah—sebagai tajuk dari karyanya (ibid). Dalam pandangan Azra, pendekatan al-Zuhri dalam studi sirah adalah pendekatan ilmuwan hadits (muhaddits). Minat utamanya adalah memperoleh pengetahuan atau mengumpulkan materi hadits. Karenanya, tidak mengherankan ketika ketika dia mengambil sebagian besar materi sirah-nya dari hadits. Dia mendasarkan metodenya dalam pemilahan hadits atas metode isnad. Sikapnya terhadap isnad adalah sikap tipikal kalangan muhaddits pada masa itu (Azra, 2003: 35).

Masih mengikuti klasifikasi Azra, genre historiografi ketiga yang bersumber dari hadits adalah asma al-rijal (yang secara tekstual bermakna “nama-nama tokoh”). Genre ini lahir dan berkembang dalam kaitannya dengan isnad. Literature asma’ al-rijal memasukkan beragam karya yang berkaitan dengan kronologi, biografi dan kritik terhadap kelompok isnad dan rawi; atau bahkan berhubungan dengan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan para perawi yang mungkin membantu untuk mengidentifikasi identitas, kejujuran dan reliabitas mereka (ibid, 41). Mengutip Siddiqi, Azra juga menulis bahwa berkaitan dengan hilangnya sejumlah karya tentang asma’ al-rijal, sangat sulit untuk menentukan secara tegas kerangka umum dan kandungannya. Tetapi berdasarkan pada karya-karya terakhir yang masih tersedia dan bisa diakses pada masa kini, bisa diilustrasikan bahwa kandungan literatur semacam itu terdiri dari: deskripsi singkat tentang genealogi dan tanggal kelahiran dan kematian; sejumlah persoalan-persoalan biografis yang yang berhubungan dengan para perawi; kritik terhadap reliabilitas mereka, dilengkapi dengan pendapat yang terpercaya dan otoritas yang tepat tentang mereka (Siddiqi, 1961: 169).

Kasifikasi lain diperkenalkan oleh Franz Rosenthal dalam buknya A History of Muslim Historiography (1954), yang membagi bentuk-bentuk awal historiografi Islam menjadi sejarah habar, bentuk annalistic, bentuk-bentuk yang lebih pendek atas periodesasi sejarah. Habar digambarkan sebagai: “…the well-rounded description of a single event, usually of no more than a few pages” (1954: 59). Lebih tepatnya lagi, Robinson (2003: 15) menyebutkan panjang habar bisa sangat fleksibel, yang paling pendek adalah satu baris dan paling panjang sepuluh halaman. Tipe historiografi Islam awal ini dicirkan dengan tiga karakter. Pertama, bentuk ini tidak mengizinkan adanya causal nexus antara dua peristiwa atau lebih. Ketidakmungkinan ini sering dihubungkan dengan realitas bahwa masing-masing habar bersifat lengkap secara individual dan tidak menolerir perujukan pada segala jenis materi tambahan. Selain itu, jika ia tersusun dari lebih dari satu habar, paralelisasi masing-masing habar, secara tidak teratur bisa menunjuk pada perpindahan tempat terjadinya sebuah peristiwa historis dari satu wilayah ke wilayah lain. Kedua, habar mempertahankan bentuk perujukan cerita lisan untuk situasi dan corak sebagai lawan dari fakta yang diarahkan secara jelas. Hal ini seringkali ditampilkan dalam bentuk dialog antar partisipan, khususnya adalah partisipan utama, dari sebuah peristiwa yang akan membebaskan sejarawan dari apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Terakhir, sebagai kelanjutan dan ungkapan dari narasi pada masa peperangan dalam bentuknya yang artistik, habar mempersyaratkan adanya aspek puitis di dalamnya (Rosenthal, 59-60).

Bentuk historiografi Islam awal kedua lebih berhubungan dengan peristiwa-persitiwa kronologis dan didominasi oleh rangkaian urutan tahun. Dalam pelacakan Rosenthal, al-Tabari adalah sejarawan pertama yang karyanya tentang annalistic form dianggap sebagai karya besar pada zamannya. Bentuk ketiga yang diperkenalkan Rosenthal adalah bentuk periodesasi sejarah yang lebih pendek. Bentuk ketiga ini terdiri dari tiga bagian: a) historiografi dinasti, b) pembagian tabaqat, dan c) urut-urutan genealogis. Secara umum, tabaqat berarti “lapisan”, tetapi dalam kasus ini, kata ini merujuk kepada “urutan kronologis generasi.” Banyak kalangan ahli bahasa yang membahas tentang panjang tabaqat, beberapa di antara mereka menyebut dua puluh tahun, sementara yang lain memilih empat puluh tahun sebagai durasi sebuah tabaqat.

Chase F Robinson (2003) mengidentifikasi tiga tipologi historiografi Islam: kronografi, biografi and prosopografi. Kronografi, adalah genre sejarah yang menggambarkan berbagai peristiwa pada saat peristiwa itu terjadi, menghimpunnya berdasarkan entri tahunan atau kepemimpinan seorang khalifah. Dengan biografi, yang dimaksudkan oleh Robinson tidak hanya karya-karya dengan subjek tunggal yang menghubungkan kehidupan seseorang, wilayah kajiannya seringkali lebih bersifat representatif dan bukan komprehensif. Jika bentuk prestis kronografi adalah sejarah universal, subjek prestisnya adalah seperti biografi Nabi.

Kategori terakhir adalah prosopografi, yang diformulasikan sebagai karya tulis tentang kelompok-kelompok sosial, dan bukan kajian kolektif tentang kelompok-kelompok sosial, sebagaimana istilah ini populer difahami di kalangan sejarawan modern. Jika biografi berbicara tentang teladan atau tokoh-tokoh terkemuka yang kehidupannya penting untuk diteladani, prosfografi mengompilasi dan menghimpunan item-item data biografis yang menandai seseorang sebagai bagian dari kelompok tertentu, entri individual umumnya disebut dengan tarjama.

***

FAKTA bahwa hampir semua genre sejarah pada masa awal bersumber dari hadits dengan tegas menunjukkan bagaimana historigrafi Islam dibangun di atas orisinalitas yang mapan. Pada perkembangannya, Ibn Khaldun datang untuk menyempurnakan konsep-konsep orisinal awal ini dengan menghadirkan kritik, dan bahkan revolusi radikal pada metode sejarah yang telah digunakan oleh para pendahulunya.

Ibn Khaldun menilai karya-karya sejarawan Islam ini masih menggunakan metode konvensional yang diderivasi dari periwayatan hadits. Penggunaan metode ini dalam studi historiografi melahirkan sejumlah kesulitan dan kelemahan, dan kelemahan yang paling menonjol adalah sulitnya membedakan infomormasi yang benar dan informasi yang salah. ini berkaitan dengan fakta bahwa metode pengumpulan informasi yang semata-mata didasarkan pada otoritas rawi dan bukan pada matan. Pengakuan terhadap kelemahan semacam ini juga bisa dilihat, misalnya, dari tesis al-Thabari bahwa setiap serpihan-serpihan informasi yang disampaikan dalam sejarah dinyatakan sebagaimana yang mereka dengar dari orang-orang terpercaya di bidangnya (Thabari dalam Mahdi 1971: 136). Dalam upaya untuk memecahkan problem metodologis inilah, Ibn Khaldun melihat urgensi untuk menciptakan sebuah metode dalam bidang sejarah. Metode itu kemudian dikenal ilm al-‘umran.

Pemahaman terhadap sejarah “sebagaimana adanya”, dalam pandangan Ibn Khaldun, sangatlah penting untuk bisa melakukan transformasi ke arah yang lebih baik. Tanpa pemahaman realitas historis dengan pandangan yang lebih objektif, akan sangat sulit untuk menjalankan perbaikan. Dengan kata lain, Ibn Khaldun memulai kajiannya dari pengamatan empiris dan kemudian diikuti dengan refleksi intelektual. Akbar S Ahmed dengan sangat tepat menggambarkan kondisi ini: “Dia tidak menulis sebagai seorang sarjana yang terasing dalam sebuah menara gading, tetapi dari pengamatan seorang pelaku politik dalam sejarah pada masanya. Materi yang kaya yang dikumpulkan adalah sebagai basis bagi ‘ilm al-umran yang dikembangkannya” (2002: 26).

Maka, jika sejarah mengkaji peristiwa dari aspek fisik (yang merupakan tanggung jawab utama para ilmuwan sejarah), ilmu budaya (ilm al-umran) mengkaji peristiwa-peristiwa itu dari sisi lain (inner aspect), yakni kekuatan dan sebab internal atau hukum-hukum universal yang terkandung di balik sebuah peristiwa, dan menjadi faktor pemicu bagi kelahiran peristiwa eksternal yang kemudian disebut sebagai sejarah. Pentingnya ‘ilm al-umran ini adalah bahwa ia merupakan sarana dengan jalan mana manusia mampu memahami sejarah secara lebih komprehensif dan melakukan verifikasi informasi secara lebih terarah. Di samping itu, ada perbedaan signifikan antara dua hal ini: sejarah selalu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa partikular, sementara ‘ilm al-umran berhubungan dengan hukum atau sebab yang lebih universal, dan karena itu, bisa diterapkan pada setiap peristiwa historis partikular lainnya.

Lebih lanjut, tujuan yang ingin dicapai Ibn Khaldun dengan menciptakan ilmu al-umran adalah menciptakan sebuah disiplin yang memiliki subject matter dan metodenya sendiri. Ibn Khaldun menggunakan metode yang digunakan oleh filosof terdahulu yaitu metode demonstratif (burhani) yang biasanya dibedakan dari metode dialektis dan retoris. Dalam kajiannya, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, Muhsin Mahdi (1957) mengidentifikasi metode demonstratif Ibn Khaldun diwujudkan dalam empat sebab budaya yaitu: sebab material, sebab formal, sebab efisien dan sebab final.

Otentisitas sains Islam seperti yang ditunjukkan dalam konteks historiografi ini, sebenarnya bisa menjadi inspirasi berharga bagi proses kreatif umat Islam dalam memproduksi gagasan-gagasan orisinal Islam, tanpa harus terjebak dengan simbol dan label. Pelajaran yang bisa dipetik adalah bahwa di luar otentisitas dan kekhasan “Islami” yang dihasilkannya, para ilmuwan sejarah ini tidak pernah mengeskpos simbol dan label “Islam”, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganjur ekonomi Islam, perbankan Islam, dan segala sesuatu yang hendak dicoba berlabel Islam, meskipun tidak selamanya “Islami.”

Daftar Kepustakaan

Ahmad, Zaid, 2003. The Epistemology of Ibn Khaldun (London and New York: RoutlegdeCurzon Taylor and Francis Group).

Ahmed, Akbar S, 2002. “Ibn Khaldun’s Understanding of Civilizations and the Dilemmas of Islam and the West Today” The Middle East Journal (Winter), pp. 20-45.

Azra, Azyumardi, 2003. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana Aktualitas dan Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

Dawood, N. J., “Introduction” in Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History (Londong: Routledge and Kegan Paul in association with Secker and Warburg).

Duri, A. A., 1983. The Rise of Historical Writing Among the Arabs (Princeton: Princeton University Press).

Fakhry, Majid, 1994. Philosophy, Dogma and the Impact of Greek Thought in Islam (Hampshire: Variorum).

Humpreys, R . Stephen, 1991. Islamic History: A Framework for Inquiry (London and New York: I. B. Tauris & Co, Ltd).

Irwin, Robert, 1997. “Toynbee and Ibn Khaldun”, Middle East Studies, 33: 3 (July), p. 461-479).

Issawi, Charles, 1950. An Arab Philosophy of History (London: John Murray).

Kartanegara, Mulyadhi. “Sosiologi Ibn Khaldun: Sebuah Rekonstruksi Warisan Teori Sosial Ilmuwan Muslim Abad Pertengahan,” a paper presented at National Symposium of Reconstruction of Muslim Scholars Inheritance, Muhammadiyah University of Malang, 4 October 2002.

Khalidi, Tarif, 1975. Islamic Historiografi: The Histories of Mas’udi (New York: State University of New York).

-----------------, 1994. Arabic Historical Thought in the Classical Period (Cambridge: Cambridge University Press).

Khalifa, Ibrahim M, 1972. An Analytical Study of “Asabiyah: Ibn Khaldun’s Theory of Social Conflict. Ph.D Thesis The Catholic University of America.

Lacoste, Yves, 1984. Ibn Khaldun: The Birth of History and the Past of the Third World (London: Verso).

Lindholm, Charles, 2004. The Islamic Middle East: Tradition and Change (Melbourne: Blackwell Publishing).

Mahdi, Muhsin, 1957. Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen and Unwin Ltd).

Robinson, Chase F, 2003. Islamic Historiografi (Cambridge: Cambridge University Press).

Rosenthal, Franz, 1952. A History of Muslim Historiografi (Leiden: E.J. Brill).

Sheikh, M. Said, 1962. Islamic Philosophy (London: The Octagon Press).

Siddiqi, M. Zubair, 1961. Hadith Literature: Its Origin, Development, Special Features and Criticism (Calcutta: Calcutta University)

Sorokin, Pitrim A, 1962. Society, Culture and Personality: Their Structure and Dynamics (New York: Copper Square Publishers).

*disadur dari tulisan Pradana Boy ZTF