Selasa, November 25, 2008
Keutamaan Bulan Dzulhijjah
Banyak hadîts yang berbicara tentang keutaaman bulan DzulHijjah, diantaranya adalah :
1. Bulan yang tidak memiliki kekurangan
عن أبي بكرة -رضي الله-عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:(( شهران لاينقصان ، شهرا عيد : رمضان وذو الحجة )) متفق عليه
Dari Abî Bakrah radhiyallâhu ‘anhu, dari Nabî Shallâllâhu‘alaihi wa Sallam beliau bersabda : “Dua bulan yang tidakmemiliki kekurangan, adalah bulan ‘Ramadhân dan DzulHijjah.” (Muttafaq alaihi).
2. Bulan disempurnakannya agama Islâm
Dari ‘Umar bin al-Khaththâb radhiyallâhu ‘anhu, bahwa seorang Yahudi berkata kepada beliau, Wahai Amîrul Mu’minîn, ada satu ayat di dalam kitab kalian yang kalian membacanya, sekiranya ayat tersebut turun pada Yahudi niscaya akan kami jadikan hari ‘îd (perayaan) kami.” ‘Umar bertanya, “Ayat yang manakah?” Yahudi itu berkata, “yaitu ayat yang berbunyi, ‘Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian serta Aku Ridhai Islam sebagai agama kalian.’ ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu berkata, “kami telah mengetahui hari dan tempat diturunkannya ayat ini kepada Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, dan beliau saat itu sedang berdiri (berkhutbah) di ‘Arofah pada hari Jum’at.”
(Muttafaq ‘alaihi). Hari ‘Arofah adalah pada bulan DzulHijjah.
Bersambung ... Insya Allah
Rabu, Oktober 29, 2008
METODE PENGAMBILAN SUMBER DAN RUJUKAN (I)
Oleh : Syamsul Hidayat
Pendahuluan
Salah satu aspek yang sangat penting bagi Muballigh Muhammadiyah dalam mempersiapkan materi dakwah dan tablighnya adalah bagaimana mengambil sumber-sumber dan rujukan materi dakwahnya. Ketidak siapan seorang Mubaligh akan materi dakwahnya akan berakibat fatal, bisa jadi materi dakwahnya menjadi tidak berbobot, atau bahkan kehabisan bahan ditengah dakwah dan tabligh.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, yang berintikan kepada al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah dan membersihkan diri dari praktek taqlid, takhayul, bid’ah dan khurafat, dan daki-daki penyimpangan pemahaman Islam, seperti sekularisasi, liberalisasi, dan paham pluralisme agama, menuntut para muballigh dan dainya untuk serius dalam mempersiapkan materi dakwah dan tabligh, yang sesuai dengan prinsip-prinsip pemahaman keagamaan dalam Muhammadiyah.
Oleh karena itu dalam tulisan ini, akan dipaparkan hal-hal berikut: (1) dasar-dasar metodologis “paham agama” dalam Muhammadiyah, (2) langkah pengambilan rujukan dakwah, (3) beberapa piranti pembantu dalam menggali rujukan dakwah.
A. Dasar-dasar Metodologis Paham Agama dalam Muhammadiyah
Sebagai Jam’iyah Diniyah, Muhammadiyah menempat-kan agama Islam dalam posisi dan fungsi sentral bagi lahir dan perkembangannya dalam hidup perjuangannya.
Adanya Muhammadiyah yang kemudian menjadi per-syarikatan yang beridentitas sebagai gerakan Islam, gerakan Dakwah Islam, dan amar makruf nahi munkar, dan gerakan tajdid adalah merupakan hasil pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam memahami agama Islam dan kemudian menghayati dan mengamalkannya.
Oleh karena itu, Islam bagi Muhammadiyah merupakan “sumber” inspirasi dan aspirasi, pusat orientasi, motivator, pengarah dan pedoman bagi hidup, kehidupan dan perjuangannya.[1]
Dasar-dasar metodologi dan pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah, dapat dilihat pada rumusan-rumusan putusan persyarikatan, seperti: Kitab Masalah Lima (al-masail al-khams), Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yang semuanya itu merupakan pokok-pokok pemikiran ideologis gerakan Muhammadiyah.
1. Pengertian Agama
Prinsip pertama dalam mengenali paham agama dalam Muhammadiyah, mengenal rumusan Muhammadiyah tentang pengertiah agama, yakni agama Islam. Adapun pengertian agama Islam dalam Muhammadiyah, sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Masail al-Khams (Masalah Lima), dibagi menjadi dua: pengertian agama Islam secara luas dan pengertian secara sempit (khusus).
Pengertian agama Islam dalam arti luas, ialah :
الدين هو ما شرعه الله من لسان أنبيائه من الأوامر والنواهى لصلاح العباد دنياهم وأخراهم
"Agama ialah apa yang disyariatkan Allah dalam perantaraan nabi-nabiNya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akherat."[2]
Sedangkan pengertian agama Islam dalam arti sempit (khusus) ialah :
الدين أى الدين الاسلامى الذى جاء به محمد صلى الله عليه وسلم هو ما أنزله الله فى القران وما جاءت به السنة الصحيحة (أى السنة المقبولة) من الأوامر والنواهى لصلاح العباد دنياهم وأخراهم
Agama, yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ialah apa-apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Qur-an dan yang tersebut dalam sunnah ÎaÍiÍah, berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan pe-tunjuk-petunjuk bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akherat.[3]
Dengan pengertian seperti ini, Muhammadiyah telah mengadakah koreksi terhadap pengertian agama Islam yang dipahami umum, agama Islam ialah agama yang dibawa oleh Muhammad Saw. sedangkan agama yang dibawa oleh nabi-nabi Allah yang lain dianggap bukan Islam, sehingga menamakan masa sebelum Muhammad sebagai “masa pra Islam”.
Agama Islam menurut pendirian Muhammadiyah adalah agama Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya sejak Adam A.s. hingga Muhammad Saw. Sedangkan Al Islam yang harus dipegangi sebagai aqidah dan syariah amaliyah oleh umat Islam pasca Muhammad ialah Islam yang telah disempurnakan oleh risalah Muhammad sebagai penutup para nabi dengan dua pedoman pokok, yaitu Al Qur-an dan Sunnah shahihah.
2. Prinsip-prinsip Pemahaman Agama
a. Dasar Agama Islam: Hubungan Akal dan Wahyu
Dalam naskah (matan) Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, ditegaskan bahwa dasar agama Islam ialah Al Quran, yakni kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., dan As Sunnah, yakni penjelasan dan pelaksanaan ajaran Al Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. dengan menggunakan akal pikiran sesu-ai dengan jiwa ajaran Islam.[4]
Al Qur-an dan As Sunnah — sebagai penjela-sannya, adalah pokok dasar ajaran Islam yang me-ngandung ajaran yang benar dengan kebenaran yang mutlak dan universal. Tidak akan berubah-ubah sepanjang masa. Sedangkan ajaran Islam yang di rumuskan oleh manusia (ulama) sebagai hasil pemi-kirannya dalam memahami Al Qur-an dan Sunnah bukanlah ajaran Islam yang sebenarnya secara ha-kiki, sehingga tidak memiliki kebenaran yang mutlak dan universal, melainkan nisbi.[5]
Sementara itu, akal pikiran/ra’yu adalah alat untuk :
1). Mengungkapkan dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al Qur-an dan Sunnah Rasul.
2). Mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian Al Qur-an dan Sunnah Rasul.
Sedangkan untuk mencari cara dan jalan melaksanakan ajaran Al Qur-an dan Sunnah Rasul dalam mengatur dunia dan memakmurkannya akal pikiran yang dinamis -progressif, murni dan jernih, mempunyai peranan penting dan lapangan yang luas. Akal pikiran dapat melihat raang dan waktu bagi penerapan ketentuan ajaran Islam dalam batas maksud-maksud pokok ajaran agama.[6]
Dengan demikian, Muhammadiyah berpendirian bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka. Bahkan beragama Islam, menurut pendirian Muhammadiyah, harus berdasarkan pengertian yang benar, dengan menggunakan ijtihad atau setidak-tidaknya it-tiba.[7]
Senin, Oktober 13, 2008
METODE PENGAMBILAN SUMBER DAN RUJUKAN (II)
Dengan dasar dan cara memahami agama seperti di atas, Muhammadiyah berpendirian bahwa ajaran Islam merupakan “kesatuan ajaran” yang utuh tidak dapat dipisah-pisahkan, dan meliputi :
1). Aqidah : ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan. Di bidang ini, Muhammadiyah berupaya untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusryikan, bid’ah dan khurafat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
2). Akhlak : ajaran yang berhubungan pembentukan sikap mental. Di bidang ini, Muhammadiyah bekerja untuk te-gaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpe-doman kepada Al Qur-an dan Sunnah Rasul, bukan bersendikan kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
3). Ibadah (Mahdhah): ajaran yang berhubungan de-ngan peraturan dan tata cara hubungan manusia dengan Tuhan. Dibidang ini, Muhammadiyah berusaha untuk tegaknya ibadah sesuai yang dituntunkan oleh Rasulullah tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
4). Mu’amalah Dunyawiyah (Ibadah am): ajaran yang berhubungan dengan pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat. Muhammadiyah berupaya untuk terlaksananya muamalah duniawiyah dengan berdasrkan ajaran agama Islam serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah Swt. dan ihsan kepada sesama.[9]
c. Fungsi Ulama dalam Pemikiran Muhammadiyah
Untuk memberikan tuntunan dalam bidang agama, Muhammadiyah menugaskan kepada Majelis Tarjih (yang kini bernama Majelis Tarjih dan Tajdid), yaitu sebuah lembaga yang terkumpul di dalamnya para ulama Muhammadiyah, untuk selalu memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.
Di lingkungan Muhammadiyah, ulama memperoleh tempat yang terhormat sebagai tempat kembalinya umat untuk memperoleh bimbingan hidup beragama. Namun demikian, ulama tidak merupakan kelompok elite dan otoriter. Ulama adalah bagian dari dan menjadi satu dengan umat. Ulama tidak hanya menanti kedatangan umat, tetapi juga mendatangi umat.[10]
Keberadaan ulama yang terjun dan menyatu dengan umat, dalam pandangan Muhammadiyah adalah memenuhi perintah al-Quran surat al-Taubah: 122:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. Al-Taubah: 122)
Berdasarkan ayat di atas, KH. Ahmad Azhar Basyir rahimahullah ta'ala rahmatan wasi'ah, menegaskan bahwa konsep ulama dalam Muhammadiyah adalah orang yang ber-tafaqquh fi al-din, mampu menggali ajaran Islam dari sumbernya Al-Quran dan Sunnah Rasul, mengamalkan ilmunya, sehingga berkesanggupan untuk berperan sebagai pembimbing umat untuk menjalani kehidupan sepanjang kemauan ajaran Islam.[11]
Sejalan dengan pandangan KH. Ahmad Azhar Basyir di atas, KH. Syahlan Rosyidi rahimahullah ta'ala, menyatakan bahwa konsep Ulama dalam Muhammadiyah adalah sebagaimana penuturan KH. Ahmad Dahlan, "Dadiyo Kyai sing Kemajuan", sehingga dapat dipahami bahwa Ulama dalam Muhammadiyah adalah:
1). Tidak merupakan hirarki kasta robaniyah
2). Ulama tidak hanya berorientasi kepada fiqhiyah semata-mata
3). Konsepsinya ialah ulama yang bersikap dinamis, senantiasa mampu memanifestasikan risalah Islami pada zaman yang penuh kemajuan.[12]
Ringkasnya, ulama adalah merupakan "Rijaluddin", yaitu bukan sekedar ulama yang menguasai kitab kuning saja, tetapi mampu menggali dan menjabarkan "Risalah Islamiyah" dalam menghadapi dan menjawab tantangan jaman.
Kedudukan ulama dalam Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, adalah memiliki kedudukan yang penting sebagai pembimbing dan pemersatu umat dalam memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam. Hal ini disebabkan oleh kesadaran bahwa masalah khilafiyah (perbedaan pemahaman dan pengamalan agama) telah menimbulkan perselisihan dan pertikaian yang melelahkan.
Dalam Qaidah Tarjih Muhammadiyah, disebutkan bahwa lapangan dan tugas Tarjih pada hakekatnya luas sekali, meliputi merumuskan tuntunan yang diperlukan oleh keluarga Muhammadiyah, kegiatan riset terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara pesat, terutama yang berkaitan dengan masalah-maslah keagamaan untuk mendapatkan jawaban yang tepat.[13]
d. Pokok-pokok Manhaj Tarjih
Untuk keperluan di atas, Majlis Tarjih telah merumuskan dan menetapkan pokok-pokok manhaj dalam mengambil keputusan. Pokok-pokok Manhaj tersebut selanjutnya menjadi pijakan metdologis dan etis bagi ulama Muhammadiyah dalam mengembangan pemahaman, pemikiran dan pengamalan Dinul Islam. Azhar Basyir menjelaskan secara ringkas pokok-pokok Manhaj tersebut adalah sebagai berikut:
1). Dalam beristidlal, dasar utamanya adalah Al-Quran dan al-Sunnah al-Shahihah (al-Maqbullah). Ijtihad dan istinbat atas dasar 'illah terhadap hal-hal yang tidai terdapat di dalam nas, dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang hal yang dihajatkan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Ijtihad, termasuk qiyas dapat digunakan sebagai cara menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nasnya secara langsung.
2). Ijtihad dilaksanakan secara jama'I, dengan jalan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan diatas kebenaran. Pendapat pribadi tidak dipandang kuat.
3). Tidak terikat dan mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi aqwal al-madzahib dapat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa ajaran Al-Quran dan al-Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat.
4). Berprinsip terbuka, toleran dan tidak memandang pendapat Majelis Tajih yang paling benar. Menerima koreksi dari siapa pun, selama diberikan dalil-dalil yang kuat. Majelis dimungkinkan untuk mengubah pendapat yang pernah diputuskan.
5). Dalam masalah aqidah, hanya menggunakan dalil-dalil yang mutawatir.
6). Tidak menolak ijma' sahabat sebagai dasar sesuatu keputusan.
7). Tentang dalil-dalil yang nampak mengandung ta'arudl, digunakan cara: al-jam'u wa al-tawfiq, dan kalau tidak dapat dilakukan tarjih.
8). Menggunakan asas "sadd al-dzara'I", untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
9). Menta'lil dapat dilakukan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-Quran dan al-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari'ah. Adapun qaidah "al-Hukmu yadurru ma‘a al-‘illati wujuddan wa ‘adaman" dalam hal tertentu dapat berlaku.
10). Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat, tidak terpisah.
11). Dalam mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip "al-taysir".
12). Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al-Quran dan As-Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, namun tetap diakui akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nas dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
13). Dalam hal-hal yang termasuk al-umuur al-dunyawiyyah yang tidak termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat demi tercapainya kemaslahatan umat.
14). Untuk memahami nas musytarak, faham sahabat dapat diterima.
15). Dalam memahami nas, maka Ðahir didahulukan dari ta'wil dalam bidang aqidah. Dan ta'wil sahabat dalam hal ini tidak harus diterima.
16). Jalan ijtihad yang telah ditempuh meliputi:
a). Ijtihad bayani, yaitu ijtihad terhadap nas yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafaz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafaz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti jumbuh (mutasyabih) ataupun adanya beberapa dalil yang [tampak] bertentangan (ta‘arul). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih.
b). Ijtihad Qiyas, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada naÎnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nas, karena adanya kesamaan ‘illah.
c). Ijtihad ijtima'i, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nas sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nas mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian penetapan hukumnya dilakukan berdasarkan ‘illah untuk kemaslahatan.
17). Dalam menggunakan hadith, terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majelis Tarjih sebagai berikut:
a). Hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah. Yang dimaksud hadis mauquf adalah apa yang telah disandarkan kepada sahabat, baik ucapan ataupun perbuatan dan semacamnya baik bersambung atau tidak.
b). Hadis mauquf yang dihukum marfu dapat menjadi hujjah. Hadis mauquf dihukum marfu' apabila ada qarinah yang dapat dipahami daripadanya bahwa hadis itu marfu'.
c). Hadis mursal sajtabÊ dapat dijadikan hujjah apabila ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanad.
d). Hadis mursal tÉbi'i semata, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanadnya kepada Nabi.
e). Hadis-hadis ÌaÑÊf yang kuat menguatkan, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang dapat dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis Sahih.
f). Dalam menilai perawi hadis, jarÍ didahulukan daripada ta‘dill setelah adanya keterangan yang mu'tabar berdasarkan alasan-alasan syar'i.
g). Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, apabila ada petunjuk bahwa hadis itu muttasil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan.[14]
Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa sistem istinbath dalam Muhammadiyah ialah : (1). Langsung kepada Al Qur-an dan Sunnah Shahihah. (2). Dengan mempergunakan qaidah ushul. (3). Menggunakan pertimbangan akal sehat. ( 4). Tidak terikat pada istinbath siapapun.[15]
B. Beberapa Langkah Pengambilan Sumber dan Rujukan Materi Dakwah
1. Mencari Bahan Dakwah Secara Instan
Dalam mencari bahan atau materi dakwah bisa dilakukan dengan secara instan, yakni penggalian bahan-bahan dakwah dari materi dakwah yang telah disusun oleh mubaligh atau ulama sebelumnya. Contoh bahan dakwah instan,[16] antara lain:
a. Kumbulan Khutbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha
b. Kumpulan Materi Ceramah Agama
c. Panduan Ceramah Ramadhan
d. Kumpulan Tulisan
e. Buletin, risalah dan brosur Dakwah
f. Makalah-makalah seminar
g. Artikel di majalah, surat kabar
h. CD teks, maupun audio (mp3) ataupun audiovisual
Ketika seorang mubaligh menggunakan langkah ini, diperlukan sikap kritis, dengan cara: (1) menelusuri lebih jauh sumber dan dalil-dalil yang digunakan oleh penulisnya, (2) menganalisis ulang atas analisis penulis bahan tersebut apakah benar-benar tepat atau ada suatu masalah yang perlu diluruskan, (3) membandingkan dengan tulisan atau pendapat lain yang mengangkat masalah yang sama, agar memperoleh pandangan yang paling rajih (kuat).
2. Mencari Bahan Materi Dakwah melalui Buku-buku Dakwah Tematik Standar
Untuk penyiapan materi dakwah, terutama untuk forum-forum kajian intensif, seorang mubaligh tidak lagi cukup dengan hanya mengandalkan bahan-bahan instant sebagaimana di atas. Namun, diperlukan pengkajian terhadap buku-buku ulumuddin standar sesuai dengan tema-tema dan spesialisasi kajian yang akan dilakukan.
a. Kajian dengan Konsentrasi Pendalaman Al-Quran dan Tafsir,
1) Dimulai dari Tarjamah al-Quran,
2) kitab-kitab tafsir yang disusun secara singkat, seperti Tafsir Jalalain (Al-Suyuti dan Al-Mahalli), Tafsir Tanwirul Miqbas (Ibnu Abbas), Tafsir Taysir Karimir Rahman (Abdurrahman al-Sa’di), Al-Tafsir al-Muyassar (Abdul Muhsin al-Turky dkk) , Zubdat al-Tafsir (Dr. Sulaiman Asyqar)
3) Tafsir-tafsir dengan uraian dan analisis yang lebih luas seperti Tafsir al-Quran al-Azhim (Ibnu Katsir), Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran (Al-Tabari), Tafsir Al-Manar (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha), Fi Zilal al-Quran (Sayyid Qutb), Al-Munir (Wahbah Zuhaily), Tafsir al-Maraghi (Ahmad Mustafa al-Maraghi), Tafsir al-Misbah (Quraisy Syihab) dan seterusnya.
4) Kajian atas Asbab al-Nuzul, seperti kitab Asbab Nuzul al-Quran (al-Wahidi).
5) Kajian Qaidah-qaidah Tafsir: seperti al-Qawaid al-Hisan al-Sa’di.
6) Tafsir yang disusun oleh warga/pimpinan Muhammadiyah: Al-Azhar (Hamka), Cakrawala Al-Quran (Yunahar Ilyas), Tafsir ayat-ayat Aqidah (Saad Abdul Wahid), Tafsir ayat-ayat Ibadah (Saad Abdul Wahid) dan sebagainya.
b. Kajian dengan Konsentrasi Pendalam Hadits/Sunnah Rasulullah
1). Dimulai dengan kajian atas kitab-kitab kumpulan hadits, seperti Ahadits al-Arbain al-Nawawiyyah (Imam Nawawi), Riyadhus Shalihin (Imam Nawawi), Bulugh al-Maram (ibnu Hajar al-Asqalani), Umdatul Ahkam (Abdul Ghani al-Maqdisi).
2). Kitab-kitab Hadits Standar: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Ahmad, Muwata’ Imam Malik, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan Ibnu Majah, Jami’ al-Tirmidzi, Sunan al-Darimi, Mustadrak al-Hakim dan sebagainya,
3). Kitab-kitab Syarh Hadits: Fathul Bari Syarh Bukhari, Syarh al-Nawawi ala Muslim, al-Muntaqa lil Muwatha, Awnul Ma’bud li Abi Dawud, Syarh Sunan al-Nasai.
4). Kitab-kitab Takhrij dan Penilaian Hadits: Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah, dan sebagainya.
c. Kajian dengan Konsentrasi Aqidah, Iman dan Tauhid.
1). Kitab-kitab Aqidah, yang disusun oleh ulama Pemurnian dan Pembaharuan, seperti Aqidah Wasitiyah (Ibnu Taimiyah), Kitab Tauhid (Muhammad bin Abdul Wahab), Risalah Tauhid (Muhammad Abduh), Syarh al-Ushul al-Tsalatsah (Muhammad bin Shalih al-Uthaimin, Kitab Tauhid (Shalih bin fauzan bin Abdulla al-Fauzan), Al-Iman (Abdul Majid al-Zindani) dan sebagainya.
2). Kitab-kitab Keimanan yang diputuskan oleh Majelis Tarjih dan disusun oleh pimpinan/warga Muhammadiyah, seperti Kitab Iman HPT, Kitab Tauhid (Buya Malik Ahmad), Aqidah (Azhar Basyir), Kuliah Aqidah (Yunahar Ilyas), dan sebagainya.
3). Kitab-kitab Syarh Hadits: Fathul Bari Syarh Bukhari, Syarh al-Nawawi ala Muslim, al-Muntaqa lil Muwatha, Awnul Ma’bud li Abi Dawud, Syarh Sunan al-Nasai.
4). Kitab-kitab Takhrij dan Penilaian Hadits: Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah, dan sebagainya.
5). Kitab-kitab Hadits yang disusun oleh warga/pimpinan Muhammadiyah, seperti: Syarh Hadits oleh A. Dimyati, dan sebagainya.
d. Kajian dengan Konsentrasi Ibadah-Muamalah
1) Kitab-kitab Feqih standard seperti: Nailul Authar, Fiqhus Sunnah, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuh, Ihkam al-Ahkam, Subulus Salam, Shahihu Fiqh al-Sunnah dan sebagainya.
2) Kitab-kitab Feqh Putusan Tarjih dan karya anggota/pimpinan Muhammadiyah, seperti: HPT bidang ibadah, Kitab Fekih (H. Djarnawi Hadikusuma), Shalat menurut Rasulullah (Agung Danarto), dan sebagainya.
3) Kitab-kitab Feqh yang sejalan dengan paham Muhammadiyah, seperti pengajaran shalat (A. Hasan), Fiqh Islam (Sulaiman Rasyid), dan sebagainya.
4) Kitab-kitab Ushul Fiqh, Tarikh Tasyri’ dan Qawaid Fiqhiyyah,.
e. Kajian Konsentrasi Akhlak:
1) Kitab-kitab akhlak standard: Bisyarah al-Mahbub bi Takfir al-Dzunub, Al-Kabair, Haqq al-Jar, Quwwah al-Qulub, Riyadhus Shalihin. dan sebagainya
2) Kitab-kitab para pemimpin, tokoh Muhammadiyah, seperti Lembaga Budi (Hamka), Tasawuf Modern (Hamka), Akhak Pemimpin (KH. Amir Maksum), Risalah Akhlak (Majelis Tarjih),. Kuliah Akhlak (Yunahar Ilyas), dan sebagainya.
f. Kajian pada Tema-tema Kontemporer:
1) Kajian pada tema Ekonomi Islam, Budaya Islam, Pendidikan Islam,
2) Kajian Kritis atas Ghazwul Fikri dan Dakwah Pemikiran, seperti penelusuran dan kritik atas paham sepilis dan sebagainya.
3) Kajian khusus untuk menangkal gerakan Kristenisasi dan Pemurtadan
g. Dan sebagainya.
Penggalian rujukan dan sumber materi dakwah, harus dilakukan dengan steliti mungkin, dengan menelusuri dalil-dalil, hujjah-hujjah, yang dipakai, ketepatan dalil, kualitas dalil, dan cara istidlal dan istinbat. Penyebutan rujukan dalam pengutipan atas kitab-kitab maraji’sangat penting dilakukan terutama untuk kajian-kajian intensif, dengan makalah ilmiah.
C. Beberapa Piranti Teknologi untuk Menghapiri Sumber Materi Dakwah
Seiring perkembangan teknologi informasi, kini telah ditemukan beberapa perangkat teknologi komputer yang dapat, bahkan sangat membatu para Mubaligh untuk menggali sumber dan bahan materi dakwah dengan cepat dan akurat. Program berupa software program komputer itu antara lain berupa:
1. Software khusus Program Pengajaran BTA, seperti Al-Barqy dan sebagainya.
2. Software khusus Program The Holy Quran, yang berguna untuk mencari ayat-ayat dan terjemahnya, serta tafsirnya. Dengan program ini, seorang mubaligh, di samping dapat mudah mencari dalil-dalil al-Quran, sekaligus juga dapat mengkopinya dalam naskah materi dakwah, sehingga tidak perlu mengetik sendiri ayat-ayat tersebut. Software al-Quran ini terus menerus berkembang.
3. Sofware Quran in Word, berguna untuk menulis ayat-ayat dengan lebih cepat dengan tarjamah dan tafsir singkat.
4. Software Program Hadits, berupa Mawsu’ah al-Hadis al-Syarif atau dikenal Kutubus Sittah.
5. Software Maktabah Thalibil Ilmi, memuat sekitar 200 judul kitab dalam berbagaio bidang, seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Akhlak, Aqidah, dan sebagainya.
6. Software Program Islamic Book, yang berisi sekitar 100 judul kitab lama dan baru dalam berbagai bidang keilmuan Islam..
7. Software Program Maktabah Syamilah Versi 1 dengan 800 judul kitab dalam berbagai bidang ilmu, yang selanjutnya disusul oleh Maktabah Syamilah 2, yang berisi tidak kurang dari 2000 judul kitab.
[1] M. Djindar Tamimy, Kemuhammadiyahan, Makalah Bahan Perkuliahan di Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran UM Surakarta, hlm. 7
[2]Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta : PPM, 1983), hlm. 270. Istilah al-Sunnah al-Sahihah, sempat menimbulkan kontroversi, karena dengan istilah itu mengakibatkan sebagian ulama Majelis Tarjih tidak mau menggunakan hadis yang tidak sahih. Sehingga dalam Munas Tarjih XXIV di Malang, awal tahun 2000, dipopulerkan dan disepakati istilah tersebut diganti dengan al-Sunnah al-Maqbulah, yang bermakna hadis-hadis maqbul (dapat diterima sebagai hujjah, baik sahih, hasan maupun dhaif).
[3]Ibid.
[4]"Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah” Pedoman Bermuhammadiyah, (Yogyakarta: PPM BPK, 1990) hlm.14
[5]M. Djindar Tamimy, Kemuhammadiyahan. hlm. 9
[6]ibid; lihat juga A. Azhar Basyir., Pokok-pokok Manhaj Tarjih yang telah dilakukan dalam Menetapkan Keputusan, Makalah Seminar Nasional Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Semarang 1997
[7]Ibid.
[8]M. Djindar Tamimy, Kemuhammadiyahan. hlm. 10
[9]Pedoman Bermuhammadiyah, hlm. 15
[10] KH. Ahmad Azhar Basyir. Konsep Ulama Muhammadiyah, Keberadaan Majelis Tarjih dan Kaderisasi Ulama. Makalah Seminar Nasional Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, Surakarta 6-8 Nopember 1985.
[11] Ibid.
[12]Sjahlan Rosjidi. "Ulama Tarjih, Pendidikan Ulama dan Pendidikan Al-Islam"., Tim UMS., Muhammadiyah di Penghujung Abad 20. (Solo: Muhammadiyah University Press, 1989, hlm. 148
[13]Ibid., hlm. 153
[14]Fathurrahan Djamil. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Plubishing House, 1995, hlm. 161-164; Mustafa Kamal Pasha etall., Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam. (Yogyakarta: LPPI UMY, 2000, hlm.. 247-249
[15]Nasikun., Studi Perbandingan Ijtihad Umar bin Khattab dan Sistem Istinbath dalam Muhammadiyah dan NU. Penelitian tidak diterbitkan (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1987) hlm. 47
[16]Yunahar Ilyas, Metode Pengambilan Sumber Rujukan Dakwah. Presentasi pada Pelatihan Nasional Instruktur Mubaligh Muhammadiyah, 2006
BUDAYA BERMUHAMMADIYAH
1. Menggapai ridla Allah Swt. Bekerja dalam Muhammadiyah adalah untuk ibadah kepada Allah semata.
MEMBANGUN MENTAL ROHANI MUBALLIGH: Al-Baqarah: 177
1. Selalu ingat: Orientasi hanya kepada Allah Swt.
2. Semua untuk tujuan jangka jauh: Akhirat.
3. Ikhlas dan tunduk patuh dalam beribadah seperti para Malaikat, tanpa pamrih.
4. Al-Quran dan Sunnah selalu dijadikan pedoman hidup.
5. Meneladani kehidupan dan kepemimpinan para Nabi dan Rasul Allah.
6. Bersifat dermawan.
7. Rajin dan tekun beribadah: Shalat dan membayar zakat.
8. Selalu menepati janji.
9. Sabar, teguh, tegar dan tidak mudah putus asa serta gagah berani.
Minggu, Oktober 05, 2008
Riwayat KH Ibrahim
![]() | ![]() | ![]() |
![]() Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah putri ragil dari KH. Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah). Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998. Menurut penilaian para sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim merupakan potret wanita zuhud, penyabar, gemar sholat malam dan gemar silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj. Moesinah sering dikatakan sebagai ibu teladan (Suara `Aisyiyah. No.1/1999: 20). Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia. KH. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai ulama besar dan berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk mengaji kehadapan KH. Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh) al-Quran dan ahli qira'ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih. KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu supaya rajin beramal dan beribadah, senantiasa mengingat Allah, rajin mengerjakan perintah agama Islam dan diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Bagian Tabligh, dan bagian Taman Poestaka. Pengajian yang diasuh KH. Ibrahim itu memakai metode sorogan dan weton. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut, dipakai waktu yang berbeda, yaitu :
Semenjak kepemimpinan Ibrahim, kemajuan Muhammadiyah begitu pesat. Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan meresap di seluruh Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang. Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah dapat meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Menurut catatan Bapak AR Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan patut dicatat adalah :
KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit agak lama. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim) cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air |
Sabtu, Oktober 04, 2008
Riwayat Sang Pendiri Muhammadiyah (V - Terakhir)
Riwayat KH Ahmad Dahlan | ![]() | ![]() | ![]() |